kajian Pangan BEM KM IPB

KAJIAN KONSEP DASAR KETAHANAN PANGAN

(Dari Berbagai Sumber)

  1. I. PENDAHULUAN

Bahan Pangan Manusia

Sudah menjadi fitrah manusia bahwa untuk memperoeh energi maka manusia harus memakan bahan-bahan pangan. Sejak jaman purba, manusia telah bergantung pada beraneka ragam jenis tumbuhan dan hewan sebagai sumber pangannya. Mulai dari manusia hidup mengembara hingga menetap, berbagai jenis bahan pangan teah ditemukan. Ketika manusia mengembara, poa bahan panannya sesuai dengan apa yang mereka temukan saat mengembara. Begitu manusia muai menetap, maka menggunakan tumbuhan dan hewan yang dapat dijinakan. Dan ketika proses penjinakan itu telah berlangsung baik, maka bahan pangan mulai terbatas. Manusia akan memilih jenis-jenis tanaman dan hewan yang mudah untuk dipelihara, mudah diolah, mudah disimpan, dan mudah diawetkan. Dan yang paing penting bahan pangan yang memiiki banyak manfaat.

Manusia lebih cenderung memilih tumbuhan berbijian seperti serealia dan kekacangan yang menghasilkan terbanyak pada keadaan tanah yang tersedia secara alami, hasilnya paling mudah, dan mudah dalam penyimpanannya. Mereka baru akan menanam umbi-umbian kalau sedang keadaan terpaksa, karena masa tananamnya yang lebih lama, sedangkan hasilnya tidak tahan lama untuk disimpan.

Faktor lain yang menentukan daam memilih bahan pangan adalah rasanya yang enak dan cara pengolahannya yang mudah. Untuk di Indonesia misalnya nasi. Nasi yang rasanya enk dan wangi, dapat dimakan dengan mudah hanya dengan sayur dan tambahan sambal. Akan tetapi sagu, bahan makanan yang banyak terdapat di Indonesia bagian timur ini hanya dapat dimakan apabila didampingi lauk pauk uang lezat. Untuk jenis hewan piaraan akan dicari yang jenisnya mudah dijinakan, berkembangbiak dengan mudah dan dapat dijadikan hewan penarik beban.

Pada masyarakat yang budidayanya bepola pemanfaatan lahan kering, tumbuhan yang diandalkannyauntuk menghasikan sumber patiatau karbohidrat lebih beragam dan sangat bergantung pada musimnya. Pada musim hujan biasanya merek menanam padi dan jagung, biasanya sambil menunggu memanen mereka juga menanam umbi-umbian. Makin ke Indonesia timur jagung dan umbi-umbian semakin penting, sedangkan sagu menjadi sumber karbohidrat yan utama.

Pengukhususan sumber bahan makanan lebih beranjut lagi di daerah-daerah yang menerapkan budidaya persawahan. Bahan pangan di tempat seperti itu makin terbatas jenisnyamenjadi padi dan palawija. Sedangkan hewan piaraannya yang utama adalah kerbau, sapi, kambing, domba dan unggas. Apabila suatu masyarakat makhluk hidup makanannya bergantung dari berbagai macam sumber, masyarakat itu lebih luwes menhadapi keperluan makanannya. Kebaikannya, apabila masyarakat itu makanannya tergantung pada satu jenis sumber saja, maka kemampuannya untuk dapat bertahan sebagai mahluk hidup hanya bergantung pada satu sumber saja. Ada saja malapetaka yang datang dengan sumber makanannya itu.

Karena itu ha itu, maka di Indonesia masyarakatnya menganggap bahwa jika beum makan nasi maka mereka beum makan. Ha inilah yang membuat peran beras teramat penting bagi masyarakat kita, karena sumber pangan hanya diutamakan kepada beras. Karena itulah sudah lama diusahakan agar bangsa Indonesiadapat menganekaragamkanbahan pangannya, yang sampai sekarang belum berhasil. Faktor-faktor yang menyebabkan hal itu diantaranya adalah, rasi nasi yang enak sehingga hanya memerlukan lauk pauk yang sederhana untuk mendampingi nasi., cara mengolah beras yang cukup mudah, daya tahannya dalam penyimpanan yang baik, tingginya kadar protein, dan bentuknya yang padat sehingga mudah dikemas dan diangkut.

Dengan adanya pengkhususan bahan pangan maka ada beberapan jenis tumbuhan dan hewan yang dihasilkan dalam jumlah yang besar di dunia ini. Tumbuhan yang ditanam manusia untuk mendapatkan hasil dinamakan tanaman, sedangkan hewan yang dipelihara manusia dengan sengaja untuk mendapatkan hasil dari tubuihnya dinamakan ternak.

Ada 30 jenis tanaman di dunia ini yang menghasilkan tidak kurang dari 10 juta ton, yaitu diantaranya adalah gandum, padi, jagung, kentang dan lain-lain. Untuk ternak ada tujuh sumber utama penghasil daging, diantaranya babi, sapi, unggas, domba, kambing, dan kuda.

Itulah gambaran tentang bahan pangan manusia yang sangat penting bagi keberlanjutan hidup. Dimana masing-masing sumber memiliki peran yang utama untuk berbagai jenis daerah yang ada di dunia ini.

Diringkas dari buku Pengantar ke Imu-Ilmu Pertanian karangan Andi Hakim Nasution.

  1. II. Definisi Ketahanan, Kemandirian, dan Kedaulatan Pangan.

Ketahanan Pangan: “Kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”.

Kemandirian Pangan: “Kemampuan suatu negara untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak dan aman, didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya lokal”

Kedaulatan Pangan: “Kebebasan dan kekuasaan rakyat dan komunitasnya dalam menuntut dan mewujudkan hak untuk mendapatkan dan memproduksi pangan dan melawan kekuatan lain yang merusak sistem produksi pangan rakyat”

  1. III. Landasan Hukum Kegiatan Ketahanan Pangan

Undang-Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk memberikan jaminan kepada warga negaranya agar dapat hidup sejahtera lahir dan batin.  Amanat tersebut antara lain tersurat pada Pasal 28 A, ayat 1 UUD 1945 Amandemen ke dua yang menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat  serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.  Pasal 34 menjamin hak warga negara atas perlindungan dari diskriminasi.

Undang-Undang (UU) No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pasal 9 ayat 1 menyebutkan  “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan  hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Walaupun secara eksplisit hak atas pangan tidak disebutkan, kedua ayat tersebut secara implisit memuat perintah kepada penyelenggara negara untuk menjamin kecukupan pangan dalam rangka memenuhi hak azasi pangan setiap warganya dan menyatakan pentingnya pangan sebagai salah satu komponen utama dalam mencapai kehidupan sejahtera lahir dan batin.

Undang-Undang yang secara eksplisit menyatakan kewajiban mewujudkan ketahanan pangan adalah UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. UU tersebut menjelaskan konsep ketahanan pangan, komponen, serta para pihak yang harus berperan dalam mewujudkan ketahanan pangan.  Secara umum UU tersebut mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat wajib mewujudkan ketahanan pangan. UU tersebut telah dijabarkan dalam beberapa Peraturan Pemerintah (PP) antara lain: (i) PP Nomor 68 Tahun 2002 Ketahanan Pangan yang mencakup ketersediaan pangan, cadangan pangan, penganekaragaman pangan, pencegahan dan penanggulangan masalah pangan, peran pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat, pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional; (ii) PP Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yang mengatur pembinaan dan pengawasan di bidang label dan iklan pangan untuk menciptakan perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab; dan (iii) PP Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, yang mengatur tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, pemasukan dan pengeluaran pangan ke wilayah Indonesia, pengawasan dan pembinaan, serta peranserta masyarakat mengenai hal-hal di bidang mutu dan gizi pangan.

Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 6 Disamping mengacu pada berbagai dokumen hukum nasional tersebut, pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan juga mengacu pada komitmen bangsa Indonesia dalam kesepakatan dunia. Sebagai anggota Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia telah menyatakan komitmen untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi masalah kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan di dunia. Kesepakatan tersebut antara lain tertuang dalam Deklarasi  World Food Summit 1996 dan ditegaskan kembali dalam World Food Summit: five years later (WFS:fyl) 2001, serta Millenium Development Goals (MDGs) 2000, untuk  mengurangi angka kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015.

Mengacu pada berbagai dokumen hukum serta kesepakatan nasional maupun internasional, Pemerintah Indonesia menyusun  Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005, serta dokumen Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan Presiden Susilo  Bambang Yudhoyono (SBY) pada tanggal 11 Juni 2005. Kedua dokumen hukum tersebut memuat kebijakan dan program pembangunan nasional, termasuk ketahanan pangan.

Khusus untuk mengatur pembangunan perberasan nasional, pemerintah telah mengeluarkan Inpres Nomor 13 Tahun 2005 tentang Kebijakan Perberasan. Inpres ini mewajibkan kementerian terkait untuk melaksanakan upaya peningkatan pendapatan petani, ketahanan pangan dan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 7 pengembangan ekonomi pedesaan melalui: (i) pemberian dukungan pada upaya peningkatan produksi dan produktivitas, (ii) pemberian dukungan pada upaya diversifikasi usaha dan pengembangan pasca panen, (iii) kebijakan harga, (iv) kebijakan ekspor dan impor beras, (v) penyaluran beras bersubsidi untuk masyarakat miskin, dan (vi) pengelolaan cadangan beras nasional.

Mengingat ketahanan pangan yang kompleks dengan keterkaitan antar banyak pelaku dan daerah dengan dinamika perubahan antar waktu, maka koordinasi dan sinergi yang baik merupakan kunci keberhasilan pembangunan.  Untuk melaksanakan koordinasi dan sinergi tersebut itu pemerintah membentuk Dewan Ketahanan Pangan melalui Keppres Nomor 132 Tahun 2001 yang mengatur koordinasi, evaluasi dan pengendalian upaya- upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional.  Hingga saat ini telah terbentuk sebanyak 32 Dewan Ketahanan Pangan propinsi dan 339 Dewan Ketahanan Pangan kabupaten/kota.

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah mengatur Peran pemerintah yang lebih bersifat sebagai inisiator, fasilitator dan regulator dan peran masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan ketahanan pangan. Sejalan dengan itu, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan atau pemerintah desa sesuai kewenangannya, menjadi pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator atas penyelengaraan ketahanan pangan di wilayah masing-masing, namun tetap dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional.  Berkaitan dengan ini maka kebijakan pangan nasional menjadi payung kebijakan pangan daerah; sedangkan kebijakan pangan daerah menjadi komponen utama dalam kebijakan pangan nasional. Kebijakan nasional harus menjamin sinergi kebijakan antar daerah, sehingga tidak ada kebijakan suatu daerah yang merugikan daerah lain. Untuk itu pemerintah memberikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang harus ditaati pemerintah daerah, melakukan pemantauan dan pengendalian untuk menjaga sinergi pembangunan antar daerah dan mengarahkan proses pembangunan pada  tujuan bersama yaitu mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Substansi dan kerangka dasar dalam dokumen Kebijakan Umum Ketahanan Ketahanan Pangan ini mengacu pada substansi penting yang dimuat dalam berbagai dokumen hukum yang dibahas di muka.

  1. IV. Sistem  Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas subsistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi. Kinerja dari masing-masing subsistem tersebut tercermin dalam hal stabilitas pasokan pangan, akses masyarakat terhadap pangan, serta pemanfaatan pangan (food utilization) termasuk pengaturan menu dan distribusi pangan dalam keluarga.  Kinerja dari ketiga subsistem ketahanan pangan akan terlihat pada status gizi masyarakat, yang dapat dideteksi dari status gizi anak balita (usia dibawah lima tahun).  Apabila salah satu atau lebih, dari ke tiga subsistem tersebut tidak berfungsi dengan baik, maka akan terjadi masalah kerawanan pangan yang akan berdampak peningkatan kasus gizi kurang dan/atau gizi buruk. Dalam kondisi demikian, negara atau daerah dapat dikatakan belum mampu mewujudkan ketahanan pangan.

KERANGKA SISTEM KETAHANAN PANGAN

 

IV.1. Sub Sistem Ketersediaan

Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Terdapat acuan kuantitatif untuk ketersediaan, yaitu Angka Kecukupan Gizi (AKG) rekomendasi Widya Karya Pangan dan Gizi VIII tahun 2004,  dalam satuan rata-rata perkapita perhari untuk energy sebesar 2.200 Kilo kalori dan protein 57 gram. Angka tersbut merupakan standar kebutuhan energi bagi setiap individu agar mampu menjalankan aktivitas sehari-hari.  Disamping itu juga terdapat acuan untuk menilai tingkat keragaman ketersediaan pangan, yaitu Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor 100 sebagai PPH yang ideal.  Kinerja keragaman ketersediaan pangan pada suatu waktu dapat dinilai dengan metoda PPH.

Ketersediaan pangan dapat dipenuhi dari tiga sumber yaitu: (1) produksi dalam negeri, (2) impor pangan dan (3) pengelolaan cadangan pangan. Mengingat penduduk yang cukup besar dengan kemampuan ekonomi yang relatif lemah. Maka impor pangan merupakan pilihan akhir apabila terjadi kelangkaan produksi dalam negeri.  Hal ini penting untuk menghindarkan bangsa ini dari ketergantungan pangan terhadap negara lain, yang dapat berdampak pada kerentanan terhadap campur tangan asing secara ekonomi dan politik.  Kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi sendiri, khususnya bahan pangan pokok, juga menyangkut harkat dan kelanjutan eksistensi bangsa.

Impor pangan sebagai alternatif terakhir untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan pangan dalam negeri, diatur sedemikian rupa agar tidak merugikan kepentingan para produsen pangan di dalam negeri, yang mayoritas petani skala kecil, juga kepentingan konsumen khususnya kelompok miskin.  Kedua kelompok produsen dan konsumen tersebut rentan terhadap gejolak perubahan harga yang tinggi.

Cadangan pangan merupakan salah satu sumber pasokan untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan dalam negeri atau daerah. Stabilitas pasokan pangan dapat dijaga dengan pengelolaan cadangan yang tepat.  Cadangan pangan terdiri atas cadangan pemerintah dan cadangan masyarakat; cadangan pangan masyarakat meliputi rumah tangga, pedagang dan industri pengolahan.  Cadangan pangan pemerintah hanya mencakup pangan tertentu yang bersifat pokok.

Untuk menjaga dan meningkatkan kemampuan produksi pangan domestik diperlukan kebijakan yang kondusif, meliputi insentif untuk berproduksi secara efisien dengan pendapatan yang memadai serta kebijakan perlindungan dari persaingan usaha yang merugikan petani. Seperti dibahas di muka, kebijakan perdagangan perlu diterapkan dengan tepat untuk melindungi kepentingan produsen maupun  konsumen.

IV.2. Sub Sistem Distribusi

Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu, dengan harga yang terjangkau.  Bervariasinya kemampuan produksi pangan antar wilayah dan antar musim menuntut kecermatan dalam mengelola sistem distribusi, agar pangan tersedia sepanjang waktu di seluruh wilayah.  Kinerja subsistem distribusi  dipengaruhi oleh kondisi prasarana dan sarana, kelembagaan dan peraturan perundangan.

Dengan struktur wilayah kepulauan, Indonesia memerlukan prasarana dan sarana distribusi darat dan antar pulau yang memadai untuk mendistribusikan pangan, dan juga input produksi pangan, ke seluruh pelosok wilayah yang membutuhkan.  Penyediaan prasarana dan prasarana distribusi pangan ini merupakan bagian dari fungsi fasilitasi pemerintah, yang pelaksanaannya harus mempertimbangkan aspek efektivitas distribusi pangan sekaligus aspek efisiensi secara ekonomi.  Biaya distribusi yang paling efisien harus menjadi acuan utama, agar tidak membebani produsen maupun konsumen secara berlebihan.

Lembaga pemasaran berperan menjaga kestabilan distribusi dan harga pangan. Lembaga ini menggerakkan aliran produk pangan dari sentra- sentra produksi ke sentra-sentra konsumsi, sehingga tercapai keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan.  Apabila lembaga pemasaran bekerja dengan baik maka tidak akan terjadi fluktuasi harga yang terlalu besar pada musim panen maupun paceklik, pada saat banjir maupun saat sungai (sebagai jalur distribusi) mengering, saat ombak normal maupun ombak ganas, saat normal maupun saat bencana.

Peraturan-peraturan pemerintah daerah, seperti biaya retribusi dan pungutan lainnya dapat mengakibatkan biaya tinggi yang mengurangi efisiensi kinerja subsistem distribusi.   Disamping itu, keamanan di sepanjang jalur distribusi, di lokasi pemasaran maupun pada proses transaksi sangat mempengaruhi besarnya biaya distribusi.  Demikian pula, iklim perdagangan yang adil, khususnya dalam penentuan harga dan cara pembayaran perlu  diwujudkan sehingga tidak terjadi eksploitasi oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain (pihak yang kuat terhadap yang lemah).

Oleh sebab itu penjagaan keamanan, pengaturan perdagangan yang kondusif dan penegakan hukum menjadi kunci keberhasilan kinerja subsistem distribusi.

Stabilitas pasokan dan harga merupakan indikator penting yang menunjukkan kinerja subsistem distribusi. Harga yang terlalu berfluktuasi dapat merugikan petani produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen, berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Oleh sebab itu hampir semua negara melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga stabilitas harga pangan pokok yang mempengaruhi kehidupan sebagian besar masyarakat.Dalam kaitan ini Pemerintah telah menerapkan kebijakan stabilitasi harga pangan melalui pembelian maupun penyaluran bahan pangan (beras) oleh Perum Bulog.

IV.3. Sub Sistem Konsumsi

Subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan  secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan, disamping juga efisiensi yang mencegah pemborosan.  Subsistem ini juga mengarahkan agar pemanfaatan pangan dalam tubuh (food utility) dapat optimal, dengan peningkatan kesadaran atas pentingnya pola konsumsi beragam dengan gizi seimbang mencakup energi, protein, vitamin dan mineral, pemeliharaan sanitasi dan higiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumah tangga. Hal ini dilakukan melalui pendidikan dan penyadaran masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kemauan menerapkan kaidah–kaidah tersebut dalam pengelolaan konsumsinya.

Kinerja subsistem ini tercermin dalam pola konsumsi masyarakat ditingkat rumah tangga.  Pola konsumsi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kondisi ekonomi, sosial dan budaya setempat. Berkaitan dengan itu maka penanaman kesadaran pola konsumsi yang sehat perlu dilakukan sejak dini melalui pendidikan dan non-formal. Dengan kesadaran gizi yang baik, masyarakat dapat menentukan pilihan pangan sesuai kemampuannya dengan tetap memperhatikan kuantitas, kualitas, keragaman dan keseimbangan gizi.  Dengan kesadaran gizi yang baik pula masyarakat dapat meninggalkan kebiasaan serta budaya konsumsi yang kurang sesuai dengan kaidah gizi dan kesehatan.  Kesadaran yang baik ini lebih menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi masing-masing anggota keluarga sesuai dengan tingkatan usia dan aktivitasnya.

Acuan kuantitatif untuk konsumsi pangan adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke-VIII tahun 2004, dalam satuan rata-rata per kapita perhari, untuk energi 2.000 Kilo kalori dan protein 52 gram. Acuan untuk menilai tingkat keragaman konsusi pangan adalah Pola Pangan Harapan (PPH) dengan skor 100 sebagai pola yang ideal.  Kinerja keragaman konsumsi pangan pada suatu waktu untuk komunitas tertentu dapat dinilai dengan metoda PPH.

Dalam kondisi kegagalan berfungsinya salah satu subsistem di atas, maka pemerintah perlu melakukan tindakan intervensi. Berbagai macam intervensi yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah: (a) pada subsistem ketersediaan berupa bantuan/subsidi saprodi, kebijakan harga pangan, kebijakan impor/ekspor, kebijakan cadangan pangan pemerintah; (b) pada subsistem distribusi berupa penyaluran pangan bersubsidi, penyaluran pangan untuk keadaan darurat dan operasi pasar untuk pengendalian harga pangan; dan (c) pada subsistem konsumsi dapat dilakukan pemberian makanan tambahan untuk kelompok rawan pangan/gizi buruk, pemberian bantuan tunai untuk meningkatkan kemampuan mengakses pangan.

  1. V. Ketahanan Pangan dan Kemiskinan

Pembangunan ketahanan pangan adalah untuk mewujudkan kecukupan pangan di tingkat wilayah hingga tingkat keluarga, sehingga tidak terjadi kerawanan pangan. Sebagian besar produksi pangan di Indonesia diselenggarakan oleh para petani skala kecil atau petani gurem dengan pemilikan kurang dari 0,5 hektar dan buruh tani, yang tergolong miskin dan rentan terhadap masalah kerawanan pangan. Hasil Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga pertanian meningkat dari sekitar 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta tahun 2003 atau meningkat sebesar  2,2 persen per tahun.  Jumlah petani gurem pun ikut meningkat dari 10,8 juta (52,7 persen) menjadi 13,7 juta (56,5 persen) rumah tangga. Sebagian besar dari petani gurem tersebut berada di Jawa, yang jumlahnya meningkat dari 70 persen menjadi 75 persen selama 1993-2003.  Saat ini hanya 25 persen dari seluruh petani di Jawa yang tergolong berkecukupan dan tidak terjerat kemiskinan. Potret sebaliknya terjadi di Luar Pulau Jawa, rumah tangga petani di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan lain-lain rata-rata menguasai lahan cukup besar. Namun demikian, jumlah petani gurem di luar Jawa pun cenderung meningkat dari 31 persen menjadi 34 persen selama periode yang sama.  Hal ini menjadi perhatian, karena dapat berdampak pada penurunan produkstivitas, produksi dan kesejahteraan petani. Proses pemiskinan petani seperti ini dapat berimplikasi sangat luas, baik secara ekonomi, politik maupun sosial kemasyarakatan.

Data penduduk miskin di Indonesia tercatat menurun dari 18,1% (38,4 juta jiwa) tahun 2002 menjadi 17,3 % (37,3 juta jiwa) tahun 2003 dan menjadi 16,7 % (36,1 juta jiwa) tahun 2004. Dari 36 juta penduduk miskin, sekitar 68 % berada di pedesaan, dan umumnya bekerja pada sektor pertanian atau berbasis pertanian. Data kemiskinan di Indonesia ini tidak jauh berbeda dengan data tingkat dunia: setengah dari kelompok miskin ini adalah petani kecil, dan seperlima dari kaum miskin tersebut adalah para buruh tani yang tidak mampu memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan keluarganya sendiri. Kelompok miskin inilah yang akan menjadi fokus perhatian dari pembangunan ketahanan pangan, sesuai dengan komitmen nasional maupun internasional yang telah dibahas di muka.

Petani miskin tidak memiliki kemampuan (entitlement) dan kebebasan (freedom) untuk melakukan sesuatu bagi keluarga dan bangsanya. Petani miskin juga tidak memiliki penghasilan yang memadai karena terbatasnya akses terhadap lahan sebagai faktor produksi terpenting dalam budidaya pertanian  (agriculture).  Diperlukan kemauan politik yang kuat untuk menerapkan kebijakan yang tepat untuk mengatasi masalah ini, mengingat perbaikan akses merupakan prakondisi untuk mencapai integrasi sistem agribisnis yang utuh dari hulu, tengah, hilir serta sistem pendukungnya seperti akses pasar, pemasaran, perbankan, pendidikan dan penyuluhan.

Pengentasan kemiskinan mensyaratkan kombinasi pendekatan antara proses pemberdayaan masyarakat dengan dukungan intervensi oleh pemerintah. Pemberdayaan dilaksanakan pada kaum miskin yang aktif secara ekonomis, untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilannya merencanakan dan melaksanakan usaha ekonomi produktif. Dukungan pemerintah dalam bentuk akses terhadap prasarana dan sarana (lahan, pasar, informasi, sumber permodalan dan lain-lain) yang lebih memadai, juga kebijakan penunjangnya seperti perdagangan dan subsidi. Pada tahap berikutnya, dilakukan penumbuhan kewirausahaan, peningkatan skala ekonomi komersial, peningkatan akses pasar, pemberian insentif dan akses terhadap informasi yang bermanfaat.

Oleh sebab itu pembangunan ketahanan pangan yang berbasis pedesaan diyakini merupakan salah satu jalan utama untuk mengatasi masalah kemiskinan, khususnya yang sebagian besar berada di pedesaan.

LAMPIRAN

Kotak 1.1  Millenium Development Goals, 1990-2015

  1. Eradicate extreme poverty and hunger
  • Halve the proportion of people with less than US$ 1 a day
  • Halve the proportion of people who suffer from hunger
  1. Achieve universal primary education
  2. Promote gender equality and empower woman
  3. Reduce child mortality
  4. Improve maternal health
  5. Combat HIV/AIDS, malaria, and other disease
  6. Ensure environmental sustainability
  • Integrate sustainable development into country policies and reverse loss of environmental resources
  1. Develop a global partnership for development, including market access
  • Reduce average tariffs on agricultural products
  • Reduce domestic and export agricultural subsidies in OECD countrieS

Sourcce:  http://www.developmentgoals.org

 

Permasalahan baru saat ini mengintai dari ketersedian pangan adalah:

  • Kondisi Sumber Daya Alam yang merupakan faktor utama berasal dari alam untuk menyediakan pangan.
  • Kondisi Sumber Daya Manusia yang menjadi faktor tenaga kerja, semakin sedikitnya orang yang terjun dalam pembangunan pertanian pangan. Diperlukannya penerus dari generasi muda yang lebih banyak untuk terjun ke pertanian pangan.
  • Faktor lain yang sifatnya insidental, yang dapat menggoyang ke stabilan pangan dalam negeri. Seperti kebijakan impor pangan dalam waktu yang kurang tepat.

Kondisi Pangan kita saat ini:

Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Luas Panen

(Ha)

11,839,060 11,786,430 12,147,637 12,327,425 12,883,576
Produktivitas

(Kg/Ha)

45.74 46.2 47,05 48,94 49.99
Produksi

(Ton)

54,151,097 54,454,937 57,157,435 60,325,925 64,398,890
Produksi Beras (Ton)* 33,974,398.26 34,165,027.47 35,860,574.72 37,848,485.35 40,403,863.59

Sumber: BPS 2010

*Beras= 62.74% GKG

Keterangan :

Data Tahun 2009 adalah Angka Tetap

Produksi beras 2010

Juru bicara Kementerian Pertanian (Kementan) Syukur Iwantoro membenarkan pernyataan Direktur Utama Badan Urusan Logistik Sutarto Alimoeso bahwa produksi beras hanya meningkat 1,17% dibandingkan tahun lalu.(Media Indonesia Sabtu, 2 Oktober 2010)

Berarti sekitar total produksi pangan 2010 sekitar= 40.876.588.79 ton beras

Hingga akhir tahun ini Indonesia masih surplus beras 5,2 juta ton dengan kenaikan produksi 1,17% pada tahun 2010 dari target sebesar 3,2%. Dengan jumlah tersebut, maka stok pangan masih bisa untuk dua bulan pertama tahun 2011. (Suara Merdeka, Mentan 9 Oktober 2010)

Dirut Bulog Impor Beras 300.000 Ton

09 Oct 2010 Jakarta, Pelita

Direktur Utama Perum Bulog Soetarto Alimoeso memperkirakan pihaknya mengimpor beras sebesar 300.000 ton, jika stok beras sampai akhir tahun ini hanya mencapai 1,2 juta ton. Impor ini kemungkinan dari Vietnam dan Thailand.

Menurut Sutarto di Jakarta, Jumat (8/10), kalau melihat kondisi saat ini maka hitung-hitungannya perlu mengimpor beras sebesar 300.000 ton.

“Kalau impor sekarang, ya, sebanyak 300.000 ton akan dilakukan karena menurut perhitungan stok beras di akhir 2010 mencapai 1,2 juta ton,” ujarnya.la menjelaskan, beras impor bisa berasal dari Vietnam dan Thailand. Kedua negara terse-but sedang dilakukan penjajakan dan hampir pada tahap penyelesaian.

Sutarto mengatakan, Indonesia dan Vietnam serta Thailand sebelumnya telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) sehingga payung hukum impor bisa dilaksanakan khusus untuk pengadaan beras bagi lndo-nesia.

“MoU kan sudah ada. Jadi sudah ada payung hukumnya,

MoU itu dengan Thailand masih sampai 2011 dan dengan Vietnam sampai 2012,” kataya.

Tetapi Sutarto belum memberikan komposisi besaran impor beras oleh kedua negara tersebut. Namun mengenai jumlahnya, berapa besar impornya nanti akan diumumkan minggu depan oleh Menteri Perdagangan.

Ia menambahkan, keputusan pemerintah untuk melakukan impor beras diyakini tidak menganggu petani di Indonesia. Walaupun impor dengan jumlah berapapun, tetapi Bulog akan tetap menyerap produksi petani.

Sutarto juga mengatakan, pihaknya menargetkan realisasi pengadaan gabah dan beras selama tahun 2010 sebe-sar dua juta ton. Hingga Oktober 2010, pengadaan gabah dan beras dalam negeri telah mencapai 1,83 juta ton.

Karenanya, ia optimistis dapat meningkatkan pengadaan beras dan gabah dari 1,8 juta ton paling tidak menjadi sekitar dua juta ton.

Pengadaan gabah dan beras hingga Oktober 2010, ujarnya, sudah jauh lebih besar dari realisasi tahun 2007. Pada 2007 peningkatan produksinya mencapai 4,96 persen jika dibandingkan saat ini. Tahun 2007, Perum Bulog melakukan pengadaan beras mencapai 1,7 juta ton.

Namun, Sutarto pesimistis jika target semula dimana pengadaan gabah dan beras men-capai 3,2 juta ton akan terwujud. Dengan adanya kenaikan harga beras menyebabkan target 3,2 juta ton tersebut tidak akan tercapai.

Kenaikan harga gabah dan beras di pasaran selama tahun 2010 menyebabkan petani lebih memilih menjual berasnya ke pasar umum. Akibatnya, jumlah gabah atau beras yang mampu diserap Bulog belum bisa memenuhi target sesuai prognosa pengadaan sebesar 3,2 juta ton.

Bahkan, saat panen raya pun harga beras masih diatas harga pembelian pemerintah (HPP). Namun selama periode, Perum Bulog mampu menyerap lebih dari 1,1 juta ton setara beras atau sekitar 26.000 ton per hari, (iz)

Analisis:

  1. Daya serap atas “swasembada beras” yang dilakukan oleh Bulog belum efektif sehingga surplus stok beras tidak termanage dan mengakibatkan daya serap Bulog terhadap surplus produksi beras ini tidak maksimal. Hal tersebutlah yang menyebabkan stok cadangan beras di gudang Bulog tidak terpenuhi. Sangat disayangkan Bulog lebih memilih impor beras dari luar negeri dibandingkan mengambil dari dalam negeri. (Penjelasan lebih lanjut silahkan dibaca Sub Sistem Ketersediaan Pangan)
  1. “Kenaikan harga gabah dan beras di pasaran selama tahun 2010 menyebabkan petani lebih memilih menjual berasnya ke pasar umum. Akibatnya, jumlah gabah atau beras yang mampu diserap Bulog belum bisa memenuhi target sesuai prognosa pengadaan sebesar 3,2 juta ton”. Seharusnya Bulog bersedia membeli langsung dari petani dengan harga yang lebih tinggi dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP), karena hal tersebut adalah bagian dari peningkatan pendapatan bagi petani.

Kotak 1.1  Millenium Development Goals, 1990-2015

1. Eradicate extreme poverty and hunger

· Halve the proportion of people with less than US$ 1 a day

· Halve the proportion of people who suffer from hunger

2. Achieve universal primary education

3. Promote gender equality and empower woman

4. Reduce child mortality

5. Improve maternal health

6. Combat HIV/AIDS, malaria, and other disease

7. Ensure environmental sustainability

· Integrate sustainable development into country policies and reverse loss of environmental resources

8. Develop a global partnership for development, including market access

· Reduce average tariffs on agricultural products

· Reduce domestic and export agricultural subsidies in OECD countrieS

Sourcce:  http://www.developmentgoals.org

 

Tinggalkan komentar